Opini Publik Oleh : Nurmala Sari
Solok - Bencana banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera Barat pada awal Desember 2025 memunculkan kerusakan yang luas. Namun di balik duka itu, ada satu hal yang kembali terlihat kuat: solidaritas masyarakat. Bahkan sebelum bantuan resmi tersalurkan, warga dari berbagai daerah sudah bergerak mandiri. Salah satu kawasan yang menunjukkan kepedulian besar adalah Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok.
Di daerah ini, hampir setiap Jorong mendirikan posko bantuan secara swadaya. Masyarakat berkumpul di balai jorong, masjid, dan sekretariat kelompok tani maupun organisasi kepemudaan untuk mengatur pengumpulan bantuan. Gerakannya spontan, namun terkoordinasi. Grup whatsapppun menjadi ramai dengan list bantuan yang berasal dari berbagai lapis masyarakat, termasuk bagi perantau yang berada jauh dari kampung halaman. Tidak ada instruksi formal, namun kesadaran kolektif membuat seluruh lapisan masyarakat hadir memberikan bantuan.
Sebagian besar bantuan berasal dari dari hasil pertanian. Lembah Gumanti memang dikenal sebagai salah satu sentra pertanian di Kabupaten Solok. Karena itulah, warga memberikan apa yang mereka punya: bawang merah, cabe, kentang, sayuran, dan lainnya. Hasil panen yang biasanya dijual untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, kali ini dikemas secara sukarela untuk membantu saudara yang terdampak bencana.
Pangan menjadi bentuk bantuan yang paling mendesak dibutuhkan. Saat becana melanda, akses masyarakat terhadap makanan biasanya terputus: pasar tutup, jalan rusak, dan stok kebutuhan pokok menipis. Sementara itu, tubuh tetap membutuhkan energi untuk bertahan menghadapi kondisi fisik dan mental yang berat. Karena itu, dari masyarakat Lembah Gumanti menjadi penompang bagi daerah-daerah yang terdampak parah.
Tokoh masyarakat dan pengurus masjid menjadi garda terdepan dalam pengumpulan bantuan. Mereka memobilisasi warga, menyediakan tempat pengumpulan di masjid dan balai jorong, serta mengatur jadwa distrubusi agar bantuan sampai ke tangan yang membutuhkan.
Kelompok tani turut memainkan peran penting dalam gerakan ini. Mereka mengkoordinasikan pengumpulan hasil panen, menyortir bantuan, hingga memastikan semuanya layak dikirim. Di momen seperti ini, kelompok tani bukan hanya menjadi organisasi produksi, tetapi juga menjadi pilar kenamusiaan yang menggerakkan solidaritas secara nyata.
Tidak hanya itu, organisasi kepemudaan di Lembah Gumanti juga menjadi motor utama gerakan. Para pemuda membuka posko, melakukan penggalangan dana, mengantar bantuan, hingga mengelola informasi melalui media sosial. Langkah cepat mereka membantu mempercepat distribusi bantuan, sekaligus mengajak lebih banyak masyarakat terlibat.
Seluruh gerakan ini menjadi kuat karena adanya kerja sama yang solid antara tokoh masyarakat, kelompok tani, pengurus masjid, pemuda dan berbagai organisasi lokal. Kolaborasi mereka menjadi ujung tombak pengumpulan dan penyaluran bantuan, memastikan bahwa setiap proses berjalan cepat, tepat, dan terkoordinasi. Harmoni antarunsur masyarakat inilah yang membuat respon Lembah Gumanti terhadap bencana begitu efektif.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat selalu memiliki mekanisme spontan untuk saling menolong ketika bencana datang. Bantuan bergerak lebih cepat dari birokrasi; kepedulian mengalir sebelum struktur bekerja.
Saat karung bawang, dan sayuran diberangkatkan ke daerah terdampak, yang disampaikan bukan hanya bantuan fisik. Ada pesan kemanusiaan yang ikut menyertai: bahwa tidak ada yang menghadapi musibah sendirian. Bahwa ketika satu daerah terluka, daerah lain berdiri menopang.
Solidaritas yang ditunjukkan masyarakat Lembah Gumanti menjadi bukti bahwa kebaikan tidak memerlukan instruksi. Ia tumbuh dari kesadaran bahwa kita hidup berdampingan dan saling membutuhkan.
Inilah kekuatan sejati bangsa—gerakan dari kita, untuk kita



