Hendrizon, SH., MH.
Wartawan Muda
Demonstrasi merupakan salah satu wujud pelaksanaan hak konstitusional warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum. Namun, ketika demonstrasi berlangsung secara berkepanjangan tanpa adanya kepastian penyelesaian, hal ini menimbulkan persoalan hukum, sosial, dan politik. Artikel ini membahas implikasi hukum demonstrasi berkepanjangan berdasarkan UUD 1945, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan instrumen hukum lainnya, serta menelaah batas antara kebebasan berekspresi dengan perlindungan kepentingan umum.
Pendahuluan
Hak menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Namun, kebebasan tersebut tidak bersifat mutlak karena dibatasi oleh norma hukum, moral, dan kepentingan umum sebagaimana tercantum dalam Pasal 28J UUD NRI 1945.
Fenomena demonstrasi berkepanjangan di Indonesia kerap menimbulkan persoalan. Di satu sisi, hal tersebut mencerminkan konsistensi perjuangan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi. Di sisi lain, ia berpotensi mengganggu ketertiban umum, stabilitas keamanan, dan hak masyarakat lain.
Landasan Hukum
-
Konstitusi
- Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 → hak berpendapat dan berkumpul.
- Pasal 28J UUD NRI 1945 → pembatasan hak asasi untuk menjamin penghormatan hak orang lain serta ketertiban umum.
-
Undang-Undang
- UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
- UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
- UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
- KUHP (misalnya Pasal 170, Pasal 212, Pasal 406) terkait potensi tindak pidana dalam demonstrasi.
-
Instrumen Hukum Internasional
- International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Analisis Hukum
1. Aspek Kebebasan Berpendapat
Demo berkepanjangan merupakan manifestasi hak berekspresi. Dalam teori Rule of Law, negara wajib melindungi kebebasan tersebut. Namun, menurut prinsip konstitusionalisme, kebebasan itu tidak boleh melanggar kepentingan publik.
2. Aspek Ketertiban Umum
UU No. 9 Tahun 1998 menekankan bahwa penyampaian pendapat harus menghormati ketertiban umum dan hak orang lain. Demo yang terlalu lama hingga menghambat akses publik, mengganggu transportasi, atau mengganggu aktivitas ekonomi dapat dinilai melampaui batas kebebasan berekspresi.
3. Aspek HAM
Hak berekspresi termasuk non-derogable rights dalam sistem hukum internasional. Namun, Pasal 19 ICCPR memberikan pembatasan atas dasar: (a) menghormati hak atau reputasi orang lain, serta (b) melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan, dan moral umum.
4. Aspek Pidana
Jika demonstrasi berkepanjangan menimbulkan anarkisme, maka aparat berhak menggunakan pendekatan represif sesuai hukum pidana. Misalnya, perusakan fasilitas umum dapat dijerat Pasal 406 KUHP, perlawanan terhadap aparat dapat dikenakan Pasal 212 KUHP.
5. Aspek Politik dan Demokrasi
Demo berkepanjangan sering digunakan sebagai instrumen tekanan politik terhadap pemerintah. Namun, apabila berlangsung tanpa arah dan berlarut-larut, berpotensi menimbulkan instabilitas politik dan ekonomi, yang pada akhirnya merugikan kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Kesimpulan
Demonstrasi berkepanjangan adalah konsekuensi dari kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi. Akan tetapi, hak tersebut tidak absolut. Batasannya adalah penghormatan terhadap hak orang lain, ketertiban umum, dan keamanan negara. Oleh karena itu, solusi yang tepat tidak sekadar represif atau pembubaran paksa, melainkan pendekatan dialogis, negosiasi, serta penegakan hukum yang adil dan proporsional. (**)
Daftar Pustaka
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR.
- KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
- Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005).
- Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006).